Genealogi Jaringan Ulama-Priyayi Mataram

Proses masuk dan berkembangnya Islam di Jawa berlangsung sudah lama. Pendapat paling mahsyur adalah 1082 M/475 H  dibuktikan dengan nisan makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik (Rickelfs, M.C, 2001). Walaupun terdapat pandangan bahwa proses Islamisasi di Nusantara dibawa oleh kaum pedagang dari Gujarat dan Persia namun  pandangan-pandangan lainnya yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja adalah bahwa Islamisasi di Nusantara dibawa oleh para juru dakwah Islam. Berhasilnya penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran serta dari jaringan ulama lokal-Nusantara yang mampu mangartikulasikan nilai-nilai Islam ke dalam tata nilai budaya Jawa sehingga mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat. Kepiawaian para ulama dalam mengajarkan ilmu syari’at ke tengah-tengah masyarakat tanpa berbenturan dengan nilai dan taradisi budaya lokal adalah salah satu kunci sukses dalam proses penyebaran agama Islam. Ditambah dengan corak tradisi Islam esoterik yang dibawa oleh pemuka agama Islam memiliki sanad keilmuan dan jaringan sampai mancanegara (Azra, 2004; Azra, 2013; Dhofier, 2019). Masuknya jaringan ulama Nusantara-Mancanegara kemudian membawa dan mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam yang dibarengi dengan mendirikan pesantren dan padepokan menjadikan proses islamisasi pada waktu itu dinamakan dengan “santrinisasi”. Santri dalam pemahaman ini bukanlah konsep santri murni atau santri pasif  yang hanya berorientasi “syariah oriented” melainkan santri yang mampu mengartikulasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tata budaya serta kearifan lokal masyarakat secara moderat (Birsyada, 2016). Pemahaman ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan Islam abad 15 dan 16 di Jawa yang banyak mengakulturasikan budaya lokal dengan Islam seperti atap tumpeng Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, Gerbang Bentar Makam Sunan Bonang, Sunan Bayat dan komplek Makam Sunan Gunungjati. Selain itu, bentuk akulturasi juga dilakukan melalui kesenian seperti wayang kulit, tembang macapat yang bernuansa religi. Dengan cara demikian nilai-nilai ajaran Islam yang berasal  dari tanah arab Timur Tengah dapat disesuaikan (pribumisasi) dengan tata nilai budaya lokal masyarakat Jawa (Geertz, 1971; Drewes, 1983). Dalam perspektif yang lebih dalam lagi, nilai-nilai Islam yang dikembangkan tersebut telah bersintesa dengan budaya Jawa (Simuh, 2016). Oleh karena itu, konsep proses penyebaran Islam yang semula mengalami proses “santrinisasi” maka pada tahap berikutnya telah bermetamorfosa menjadi “pribumisasi”. Proses pribumisasi pada prakteknya tidak hanya dilakukan dari kalangan keluarga santri namun juga datang dari keluarga priayi keluarga dan kerabat kerajaan yang lebih memilih untuk menjadi penyebar agama Islam ketimbang berkiprah di dalam kerajaan.

Di antara tokoh penyebar agama dari lingkungan keluarga priayi yang memilih menjadi pendakwah adalah K.H.R. Khasantuka atau dikenal dengan Bagus Khasantuka atau memiliki nama kecil Kanjeng Raden Bagus Kemuning yang makamnya berada di Dusun Senuko, Sidoagung, Godean, Sleman. Ia adalah leluhur dari sesepuh Pondok Pesantren Watucongol Gunungpring yang diasuh oleh Kiai Dalhar. Apabila diurutkan silsilahnya Kiai Dalhar bin Kiai Abdurrohman bin Kiai Abdurrouf bin Kiai Khasantuka. Berdasarkan catatan tradisi keluarga Watucongol, silsilah Kiai Dalhar bersambung ke Kiai Khasantuka dan Sunan Amangkurat III (1703-1708 M). Artinya secara genealogi sebenarnya keluarga Ponpes. Watucongol  Gunungpring memiliki jalur kepriyayinan yang tersambung sampai Sunan Amangkurat III. Dari jalur Sunan Amangkurat III apabila ditarik ke atas bersambung kepada Sunan Amangkurat II, Amangkurat I dan Sultan Agung (dari istri Kanjeng Ratu Wetan). Kanjeng Ratu Wetan (istri Sultan Agung) adalah puteri dari Adipati Batang sekaligus cucu dari Ki Juru Martani. Pernikahan Sultan Agung dan Ratu Wetan melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal dengan Prabu Amangkurat I. Jadi apabila diurutkan Ratu Wetan adalah puteri dari Bupati Batang yang bernama Pangeran Upasanta bin Pangeran Mandura bin Ki Juru Martani bin Ki Ageng Ngerang III bin Ki Ageng Ngerang II bin Ki Ageng Ngerang I. Singkatnya dari jalur ini Sunan Amangkurat III memiliki garis silsilah sampai dengan Ki Juru Martani dan Ki Ageng,  Nyai Ageng Ngerang I Pati (Dewi Roro Kasihan, ada pula nama lainnya Nyai Siti Rohmah Roro Kasihan, ada pula nama lainnya Nyai  Juminah) (Ras, JJ, 1987). Nyai Ageng Ngerang I atau Dewi Roro Kasihan/Siti Rohmah Roro Kasihan adalah Putera dari Raden Bondan Kejawen dengan Dewi Retna Nawangsih. Sedangkan Raden Bondan Kejawen adalah Putera dari Prabu Brawijaya V dengan Dewi Wandan Kuning.

Jalur ke- II dari Sunan Amangkurat III ke atas adalah ke Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat I, Sultan Agung, Raden Mas Jolang atau Pangeran Seda Ing Krapyak atau bergelar Sunan Adiprabu Anyakrawati Senapati Ing Ngalaga Mataram. Sunan Adiprabu Anyakrawati dinikahkan dengan puteri Pangeran Benawa (Pangeran Benawa adalah Putra Sultan Hadiwijaya/Raja Pajang) yang bernama (Ratu Adi Dyah Banowati). Pangeran Benawa sendiri apabila ditarik garis silsilahnya ke atas sampai  ke Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pengging dan Adipati Dayaningrat. Adipati Dayaningrat menikah dengan puteri Prabu Brawijaya V melahirkan Ki Ageng Pengging. Dari pernikahannya antara Sunan Adiprabu Anyakrawati dengan Ratu Adi Dyah Banowati memiliki salah satu Putera Bernama Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang atau bergelar Sultan Agung.

Jalur ke- III dari Sunan Amangkurat III ke atas adalah ke Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat I, Sultan Agung, Pangeran Seda ing Krapyak/ Raden Mas Jolang/ Sunan Adiprabu Anyakrawati. Dari Sunan Adiprabu Anyakrawati naik ke Panembahan Senopati. Panembahan Senopati dinikahkan dengan puteri Ki Ageng Penjawi bernama Dewi Waskita Jawi atau Roro Sari yang kemudian hari menjadi permaisuri Panembahan Senopati bergelar Ratu Mas. Ki Ageng Penjawi juga memiliki jalur silsilah ke atas ke Ki Ageng Ngerang III dengan istri Raden Ayu Panengah (bergelar Nyi Ageng Ngerang III) adalah salah satu puteri dari Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Lawean. Dari Ki Ageng Ngerang III ditarik ke atas sampai Ki Ageng Ngerang II, Ki Ageng Ngerang I dan Nyai Ageng Ngerang I (Dewi Roro Kasihan atau Nyai Siti Rohmah Roro Kasihan, ada pula nama lainnya adalah nyai  Juminah). Nyai Ageng Ngerang I atau Dewi Roro Kasihan/Siti Rohmah Roro Kasihan adalah Putera dari Raden Bondan Kejawen dengan Dewi Retna Nawangsih. Sedangkan Raden Bondan Kejawen adalah Putera dari Prabu Brawijaya V dengan Dewi Wandan Kuning.

Jalur ke-4 dari Sunan Amangkurat III ke atas adalah ke Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat I, Sultan Agung, Pangeran Seda ing Krapyak/ Raden Mas Jolang/ Sunan Adiprabu Anyakrawati. Dari Sunan Adiprabu Anyakrawati naik ke Panembahan Senopati. Panembahan Senopati ditarik ke atas sampai Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Ngenis Lawean, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Getas Pendowo, Raden Bondan Kejawen, Prabu Brawijaya V.

Berdasarkan catatan-catatan silsilah di atas dapat disimpulkan bahwa genealogi raja-raja Mataram bersambung kebeberapa jalur baik jalur raja maupun jalur Ulama atau pemuka agama. Dari berbagai jalur silsilah tersebut menginduk ke Prabu Brawijaya V. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pada suatu ketika seorang priayi atau keluarga keraton bisa saja menjadi santri karena belajar agama pada guru-guru agama (ulama) yang kemudian berpindah-pindah dan selanjutnya menetap disuatu tempat seperti Kiai Nur Iman Mlangi dan K.H.R. Bagus Khasantuka di Senuko begitu juga sebaliknya ulama dan santri pada suatu waktu bisa menjadi priayi ketika diangkat menjadi keluarga kraton atau bisa juga melalui jalur pernikahan antara keduanya. Dengan cara itu proses dialektika  hubungan  santri dan priayi ini kemudian disebut dengan apa yang dinamakan mengalami proses “inklusi sosial” (Sirait, 2016). Walaupun di antara para Kiai atau ulama memiliki silsilah genealogi sampai kepada jalur keraton namun tidak sedikit juga yang menyembunyikan silsilahnya dengan tidak menyematkan atau mengurus gelar kebangsawanannya sebab pada hakekatnya semua manusia di hadapan Tuhan sama hanya pembedanya adalah iman dan taqwanya. Di sisi lain masa pemerintahan Sunan Amangkurat III sangatlah pendek karena sering terjadi konflik antar keluarga khususnya terhadap Pangeran Puger dan para Bupati yang tidak loyal kepadanya. Singkat cerita Belanda ikut campur dalam konflik tersebut dan menangkap Sunan Amangkurat III dan kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Pemerintahan pun berpindah ke Pangeran Puger dengan gelar Pakubuwana I (1704-1719) M. Setelah kepemimpinan Pakubuwana I selesai digantikan Amangkurat IV (1719-1726 M). Pada masa pemerintahan Amangkurat IV banyak terjadi konflik. Diantara konflik tersebut adalah dengan Pangeran Balitar, Arya Dipanegara dan Arya Mataram. Konflik besar ini kemudian sering disebut dengan Suksesi Jawa Jilid II. Sepeninggalnya Amangkurat IV digantikan oleh puteranya yaitu Pakubuwana II (1726-1742) serta menjadi Susuhunan pertama di Surakarta memerintah pada tahun 1745-1749 M. Sebagaimana pendahulunya, era kepemimpinan Pakubuwana II juga banyak konflik salah satunya dengan Sunan Kuning, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang berakhir pada perjanjian Giyanti 1755 M dan perjanjian Salatiga pada 1757 menandai berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan Praja Mangkunegaran.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *