Dialektika Priayi dan Santri Dalam Budaya Jawa

Priayi dan Cita-Cita Masyarakat

Menjadi seorang priayi dalam tatanan tradisi budaya Jawa lama merupakan cita-cita atau dambaan bagi semua orang. Betapa tidak, dalam hirarki sosial posisinya banyak mendapat privilege atau hak istimewa sebab memiliki hubungan genealogi atau kekerabatan dengan keluarga kerajaan atau disebut kaum aristokrat. Hak-hak tersebut dapat diwariskan secara turun temurun sesuai tinggi rendahnya jabatan atau posisi dan status sosial seorang priayi. Oleh karena itu memiliki genealogi atau silsilah atau trah dari keluarga kerajaan atau darah keraton merupakan salah satu tiket utama sebagai legitimasi yang sah bahwa orang tersebut apakah memiliki hubungan darah family dengan keluarga kerajaan ataukah tidak. Biasanya seorang priayi yang memiliki darah biru memiliki sepucuk surat kekancingan yang diterbitkan dari keraton sebagai bukti sah bahwa ia memiliki garis keturunan dari keraton. Pekerjaan-pekerjaan para priayi ini juga dapat diwariskan turun temurun sekaligus mereka mendapatkan pendidikan khusus seperti etika, budaya kesusastraan Jawa yang tidak bisa didapatkan oleh orang kebanyakan  (Kartidirdjo, 1988:111-113). Seorang priayi tahu dan dapat menempatkan posisinya kepada siapa saja ia berhubungan atau komunikasi dari yang status sosialnya lebih tinggi sampai yang dibawahnya yang semuanya memiliki standar atau pakem dan tradisi yang harus dipraktekkan di dalam kehidupan keraton secara ketat.

Selain harus bersikap sopan santun, seorang priyayi juga diharuskan untuk menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan keluarga keraton. Kondisi yang serba diatur oleh pakem lingkungan keraton yang sangat ketat serta tidak sedikit konflik internal di lingkungan keraton  membuat sedikit banyak priayi ageng atau keluarga kerajaan tidak betah berada dalam keraton dan memilih hidup di luar benteng keraton menjadi orang kebanyakan yang bebas dengan menanggalkan seluruh atribut kepriayinan yang telah dimilikinya dan memilih menjadi penyebar agama dan orang biasa (memilih hidup di luar istana) seperti Pangeran Benawa, Kyai Nur Iman Mlangi (BPH Sandeyo), K.H.R. Bagus Khasantuka dan Ki Ageng Suryomentaraman. Oleh karena memilih kehidupan di luar keraton, sepak terjangnya seringkali sulit dilacak baik lewat arsip maupun catatan keluarga. Tinggal tersisa sumber-sumber lokal berupa tradisi lisan yang disampaikan oleh masyarakat maupun keluarga secara turun temurun. Sebab dalam tradisi tulis dan arsip keraton seperti babad dan serat yang dibuat oleh para pujangga keraton seringkali hanya memuat tokoh-tokoh besar dan penting saja yang berhubungan dengan keluarga raja (Birsyada, 2016). Tokoh-tokoh lainnya yang jauh hubungan dengan keraton atau bahkan jika dalam keluarganya berseberangan dengan kerajaan seringkali tidak banyak diulas. Kalaupun diulas maka ulasannya tidak sepanjang lebar tokoh-tokoh sentral seperti raja dan keluarga kerajaan yang dianggap banyak berjasa dengan keraton. Selain itu banyaknya jumlah istri dan anak-anak raja baik dari jalur permaisuri maupun selir terkadang semua tidak tercantum di dalam buku induk keluarga dan silsilah keluarga keraton. Namun demikian dapat dilacak melalui trah atau perkumpulan trah yang telah memiliki riwayat atau catatan-catatan keluarga.

Oleh karena posisinya yang spesial dalam pandangan orang Jawa, seringkali priayi dianggap superior karena memiliki genealogi keluarga dari kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari tata cara perilaku, pergaulan dan dari segi bahasa yang halus lagi terstruktur sesuai pakem lingkungan keraton.  Walaupun demikian, seorang ketika ingin menjadi priayi tidaklah mudah. Ia harus nyuwito atau magang di lingkungan keraton selama bertahun-tahun biasanya dilakukan di rumah kerabat yang telah menjadi priayi tingkat yang sudah tinggi. Nyuwito, berarti bersedia melakukan pekerjaan apapun dari tingkat halus sampai yang kasar yang semuanya dilakukan dengan penuh sikap sopan santun (Soeratman, 1989). Dalam tradisi Jawa lama, berstatus menjadi priayi merupakan sebuah kenaikan status sosial. Apalagi jika seorang yang awalnya dari kalangan orang biasa kemudian dapat masuk di lingkungan priayi maka ia mengalami apa yang dinamakan dengan mobilitas vertikal atau naik statusnya dalam pandangan masyarakat. Sebab dengan statusnya tersebut segala peluang akan terbuka khususnya untuk menjadi pejabat pemerintah bahkan menjadi penguasa. Biasanya tinggi rendahnya status sosial dapat dilihat dari gelar di depan namanya seperti KRT, KPA, RM, KRMH dan sejenisnya dan biasanya harus ditempuh selama bertahun untuk naik dari gelar satu ke gelar yang lainnya yang lebih tinggi.

Priyayi dan Loyalitas

Tidak hanya ditempuh selama bertahun-tahun untuk naik gelar satu ke gelar lainnya, seorang priayi juga dituntut untuk loyal terhadap raja dan keluarga raja. Mereka harus memahami dan mengetahui posisinya sebagai abdi dalem kerajaan. Artinya harus tahu unggah ungguh pakem sebagai seorang priayi secara tulen. Paling tidak ada dua katagori seorang priayi, pertama adalah priayi ageng atau menempati posisi tinggi karena memiliki darah biru, ningrat dari keluarga kerajaan. Priayi dari jenis ini biasanya menjabat sebagai Bupati, wedana dan mantri serta sudah sangat jelas jenjang karirnya dari bawah sampai menjadi pejabat pemerintah. Selain mendapatkan didikan dari keluarga atau pakem model keraton biasanya mereka juga mendapatkan pendidikan dari sekolah-sekolah Belanda sampai mendapatkan ijazah yang kemudian dapat bekerja mengisi posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Kategori yang kedua adalah golongan priayi rendahan biasanya mereka bukan dari darah biru namun memiliki semangat dan kecerdasan yang tinggi dan mampu bersekolah di sekolah Belanda dan Eropa. Priayi jenis kedua ini untuk menduduki jabatan biasanya waktunya jauh lebih lama dari pada priayi yang memiliki genealogi darah biru keluarga kerajaan.

Secara struktural, priayi Jawa terbagi menjadi dua golongan. Pertama adalah priayi luhur biasanya mereka memiliki tata nilai budaya tersendiri yang berbeda dari orang kebanyakan. Namun sebagai bagian dari kelompok sosial mereka bukanlah kelompok yang tertutup. Seorang dari kalangan keluarga biasa bisa menjadi priayi jika memiliki jasa dan kesetiaan dengan penguasa sehingga membuatnya dapat diberikan posisi atau jabatan dalam pemerintahan (Kartodirdjo, dkk, 1993). Namun demikian ia tetap harus menempuh jalur yang panjang dan bertahun-tahun untuk naik tingkat dan lebih panjang daripada golongan priayi yang memiliki genealogi darah biru. Oleh karena posisinya yang penting dalam hirarki sosial tradisi masyarakat Jawa, asal usul atau genealogi keturunan bangsawan menjadi sarana penting yang sah sebagai legitimasi seseorang apalagi jika ia ingin menjadi pejabat atau penguasa  (Kartodirdjo, dkk, 1987:7; Birsyada, 2016). Biasanya para pangeran atau keluarga keraton untuk memperkuat legitimasi pengaruh dan kekuasaan sering melakukan pernikahan lintas kelompok sosial misalnya antara priayi dengan keluarga santri sehingga keluarga santri ini secara otomatis akan menjadi bagian dari keluarga priayi kerajaan juga yang memiliki status sosial tinggi dan keturunannya secara otomatis memiliki genealogi darah biru dapat menjadi pejabat pemerintah atas perintah keraton (Carey dan Houben, 2019). Di sisi lain basis-basis santri, pondok pesantren, padepokan-padepokan yang memiliki banyak santri secara otomatis dapat mudah dikondisikan agar selaras kebijakan-kebijakan keraton dalam kata lain dapat dikontrol. Namun banyak juga basis-basis wilayah santri khususnya pesantren-pesantren yang sebagian besar di wilayah pesisir utara justru menunjukkan kontra dengan keraton. Hal ini dapat dilihat dalam Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, 1825-1830 perlawanan justru diawali dari keluarga keraton yang memilih hidup di luar keraton dan banyak bergumul dengan kehidupan santri. Pada abad ke-17 pesisir utara jawa khususnya wilayah Surabaya, Giri, Lasem, Pajang, Madura, Blambangan, Gresik dan Tuban menjadi basis santri yang amat kuat dan berseberangan dengan pihak Mataram (De Graaf, 1986; Moertono, 2018).

Priayi dan Sub-Kultur Budaya Jawa

Secara kultural, kelompok priayi merupakan bagian dari sub-kultur budaya Jawa karena mereka memiliki tata cara tersendiri yang pakem dan tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Struktur tata bahasa yang bertingkat-tingkat, bentuk pakaian sehari-hari yang digunakan serta tata krama bergaul dan praktek pengamalan nilai-nilai agama juga sedikit berbeda dengan umumnya. Dalam hal ini Geertz (1981) menyampaikan bahwa praktek pengamalan keagamaan priayi Jawa banyak dipengaruhi tradisi Hinduisme dan Kejawen atau sering disebut sinkretik. Pola sinkretik tersebut dapat dimakanai dengan penggabungan antara spirit budaya yang bersumber dari ajaran agama Islam dengan tradisi lokal Jawa atau disebut Kejawen. Namun demikian ada juga yang memahami bahwa praktek pengamalan agama yang seperti itu bukanlan sinkretik melainkan bagaimana pola strategi islamisasi di Jawa dilakukan dengan sangat adaptif dengan tata nilai dan budaya lokal setempat sehingga tidak mempertentangkan atau via a vis antara syari’at dengan budaya lokal melainkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat membumi bersamaan dengan tata nilai budaya Jawa. Artinya praktek pengamalan Islam yang demikian tidak dimaknai dengan pendekatan hitam putih atau “syari’ah oriented” namun juga didekati dengan pendekatan kultur dan tasawuf sehingga dapat mudah dicerna dan lebih luwes terima oleh masyarakat Jawa dari berbagai elemen dan status sosial masyarakatnya. Proses seperti ini dalam perspektif antropologi sering disebut dengan inkulturasi. Salah satu strategi paling handal dalam proses penyebaran agama adalah melalui proses budaya. Dengan demikian maka proses penyebaran agama telah mengalami apa yang dinamakan dengan pribumisasi.

Budaya Santri

Gambaran sosok seorang priayi beserta tata nilai budaya yang melekat kepadanya sebagaimana telah dijelaskan di atas akan terasa bertolak belakang dengan konstruksi budaya yang dipraktekkan oleh kaum santri. Jika budaya priayi dianggap telah banyak bercampur dengan tradisi budaya lokal Jawa dan Kejawen maka dalam budaya santri cenderung mempraktekkan ajaran-ajaran Islam yang murni atau basisnya adalah syari’ah. Oleh karena itu kata Geertz (1981) santri merupakan satu-satunya kelompok yang merepresentasikan paling islami dalam struktur masyarakat Jawa. Hal ini berbeda dengan kelompok priayi yang lebih merepresentasikan tradisi mistik yang lebih diyakini sebagai warisan Hindu-Budha pra-Islam. Namun demikian pandangan Geertz tersebut dikemudian hari dianggap terlalu gegabah dalam menyederhanakan budaya dan pengamalan nilai-nilai agama pada masyarakat Jawa. Faktanya dikotomi priayi dan santri tidak selalu berlaku demikian. Faktor ekonomi, mobilitas sosial masyarakat yang sangat cepat sangat dapat mempengaruhi perpindahan seseoang dari satu kelompok komunitas ke kelompok komunitas lainnya misalnya dari priayi ke santri atau santri ke priayi yang bersifat sangat terbuka dalam struktur sosial masayarakat Jawa. Geertz dianggap terlalu menggeneralisir kondisi sosial dan budaya masyarakat Jawa yang telah ada.

Geertz juga tidak melihat secara mendalam bagaimana komunitas Islam juga memiliki konstruksi nilai sendiri ketika mereka berhadap-hadapan dengan nilai-nilai budaya lokal dalam hal ini khususnya budaya Jawa. Konstruksi tersebut tentunya juga telah mengalami kajian yang panjang dalam perspektif syari’at juga dalam kajian kebudayaan. Misalnya dalam hal adat, budaya kebiasaan sehari-hari bagaimana dalam kajian hukum Islam juga dapat ditetapkan menjadi landasan hukum masyarakat selama tidak bertentangan dengan syari’at. Demikian juga dari lingkungan komunitas priayi dan abangan yang memiliki konstruksi tersendiri dalam memahami nilai-nilai agama dan budaya mereka. Artinya hubungan antara satu dengan lainnya masih sangat cair dan terbuka. Faktor sosial, ekonomi bahkan pernikahan juga turut andil membentuk lingkungan sesorang baik ia dari kalangan priayi maupun santri. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa hubungan antara kelompok priayi dan santri pada tataran lapisan masyarakat terbawah berjalan sangat toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan saling menghargai antara satu dengan lainnya (Burhani, 2017; Sirait, 2016). Hal ini dapat dilihat dalam upacara ritual tahlilan di masing-masing desa di Kotagede menunjukkan secara kultural masyarakat Islam di Indonesia memiliki corak inklusifitas, open mind dan memiliki karakter sikap cinta damai, tidak dikotomis juga harmoni. Praktek corak Islam yang demikian sering disebut dengan Islam yang rahmatan lil alamin. Perpindahan dari kelompok santri ke priayi dan priayi ke santri ini dalam perkembangannya mengalami proses dialektis yang sangat terbuka dan independen. Suatu waktu seorang priayi dari darah biru bisa jadi karena suatu hal lebih memilih menjadi seorang santri dengan melepaskan seluruh atribut kebangsawanannya mereka melebur dengan masyarakat umum sampai tidak dikenali lagi statusnya jika ia berasal dari darah biru. Baginya untuk memperoleh hidup mulia disisi Tuhan bukanlah dengan menyematkan gelar kebangsawanannya atau mengandalkan darah birunya melainkan dengan Ketakwaannya. Namun tidak sedikit pula dari kalangan keluarga santri yang kemudian memilih sebagai seorang priayi karena memiliki kedekatan dengan lingkungan keraton sehingga dengan itu dapat meraih jabatan-jabatan di pemerintahan atau menjadi anggota baru keluarga kerajaan karena proses pernikahan antar keluarga santri dan priayi.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *